Belajar Dari Kepedulian Pak Agus Ingin Menjadi Sopir Mobil Jenazah

Institut Kemandirian Dompet Dhuafa
Institut Kemandirian Dompet Dhuafa

 

Institutkemandirian.org-Sejak sekolah, Pak Agus bercita-cita ingin menjadi sopir tapi tidak ada kesempatan untuk belajar mengemudi. Lahir di Jakarta 19 Agustus 1960,  dia sudah mengalami bagaimana susahnya kondisi Indonesia tahun 60-an, cari minyak tanah saja susah , harus antri dan  sering tidak kebagian jatah. Lulus dari SMA YAPENAP Tahun 1978, Pak M. Agus Purnomo bekerja sebagai seorang Helper  di  dapur sebuah hotel besar di Jakarta lebih dari 20 tahun.

Tahun 1980, Pak Agus memutuskan untuk pindah tempat tinggal dari Manggarai ke Binong Tanggerang. Meskipun pindah rumah dia tetap tidak keluar dari pekerjaannya sebagai karyawan hotel di Jakarta. Hotel tempat Pak Agus bekerja adalah proyek padat karya pemerintah, tapi gaji yang dia dapatkan masih dibawah PNS. Padahal setiap tanggal 17 Agustus dia selalu dapat baju KORPRI dan ikut upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI. Pergantian presiden menuai kebijakan baru, hotel yang menurut Pak Agus tidak merugi dijual ke pihak asing.   “ Saya tak mengerti mengapa hotel tempat saya bekerja dijual ke asing, akibatnya lebih dari 500 karyawannya kena PHK karena  kebijakan manajemen hotel yang baru”, tutur Pak Agus terlihat merenung ke masa silam. Proses PHK-nya pun bertahap, tahap pertama dia selamat, namun manajemen menawarkan dia untuk keluar sampai 7x. Sebagai kepala rumah tangga dengan alasan kondisi keluarga dia masih bertahan karena tidak ada cacat selama melakukan pekerjaan. Akhirnya nurani pun terketuk, merasa tidak enak keseringan dipanggil untuk secara sukarela keluar, maka Saya putuskan keluar dan perusahaan memberi pesangon 50 jt.

Pesangon yang Pak Agus dapatkan digunakan untuk merenovasi rumah dan modal usaha berjualan di lingkungan sekolah. Awalnya dia  berjualan tahu bulat, berganti jualan Cireng karena pembeli tahu bulat menurun tidak menutup modal usahanya. Alhamdulillah, omset jualan Cireng lumayan besar, sehari bisa 300 cireng laku terjual. Tapi entah kenapa, ketika terjadi pergantian penjaga sekolah baru, kebijakan baru pun keluar. Siswa boleh jajan keluar lingkungan sekolah. Akibatnya omset penjualan cireng dia pun semakin berkurang, hanya terjual 100 cireng tiap harinya. Dalam hatinya masih mengucap syukur pada Allah SWT, masih diberikan kesehatan untuk jualan dan bisa menghidupi keluarganya. Semangat berwirausaha Pak Agus masih tertanam dalam jiwanya yang sebelumnya pernah mengikuti program pelatihan wirausaha Institut Kemandirian Dompet Dhuafa tahun 2010.

Kehidupan Pak Agus sebagai tulang punggung keluarga saat ini sedikit terbantu oleh sanak saudaranya. Anak-anaknya pun sudah bekerja di super market yang ada di Daerah Serpong  sambil kuliah di Universitas Pamulang. Mereka  pagi kuliah dan sore bekerja setiap harinya. Kegiatan Pak Agus yang terasa berat karena faktor usia ditambah menurunnya daya ingat, tapi tidak menghapuskan rasa kepedulian terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Suatu saat, dia melihat rombongan pembawa jenazah melintas didepannya. Sebuah mobil pick up biasa dipakai angkutan berangkal, pasir, dan tanah membawa keranda jenazah terlihat di depan rombongan. Sebagai muslim beliau terusik nuraninya akan penghormatan terhadap jenazah. “Masa membawa jenazah pake kendaraan pengangkut berangkal dan tanah”, tuturnya sambil meneteskan air mata saat menceritakan kejadian itu di depan tim Institut kemandirian. Kejadian itu menginspirasi beliau untuk mengabdikan dirinya menjadi sopir mobil jenazah di lingkungan tempat tinggalnya. Kebetulan, DKM Riadusholihin dekat rumahnya mendapatkan bantuan mobil jenazah dari Departemen Luar Negeri, inilah semakin menguatkan niatnya untuk belajar mengemudi.

Perjalanan ikhtiar mencari orang atau lembaga yang ingin mengajari Pak Agus keterampilan mengemudi terganjal biaya yang harus dikeluarkan. Sampai akhirnya ketika ada pertemuan di Masjid At-Taqwa Palem Asri, dia melihat dan membaca sebuah poster Institut Kemandirian Dompet Dhuafa tentang pelatihan mengemudi gratis. Ada rasa gembira yang dirasakannya, ternyata lembaga yang telah memberikan semangat wirausahanya juga memberikan kesempatan bagi yang ingin bisa mengemudi dikalangan kaum dhuafa. Tanpa pikir panjang akhirnya dia mendaftarkan diri sebagai peserta pelatihan mengemudi Institut Kemandirian. Meskipun usia 53 tahun semangat kepedulian Pak Agus dibuktikan dengan belajar serius mengemudi agar kelak dia bisa membawa jenazah dengan mobil jenazah yang lebih layak di lingkungannya.

Kisah Pak Agus ini hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua, untuk menjadi manusia yang hidup dengan baik (Hayyatun Thoyyibah), selain harus melakukan ibadah dengan baik wajib menjaga keluarganya, mencari rezeki yang halal dan menanamkan rasa kepedulian kepada sesama dan  lingkungannya. “Muda berkarya, Tua berwibawa, dan Mati harum namanya atau Muda jadi kaya dan Mati masuk syorga” . Begitu kata Pak KH. Ridwan Lubis pengurus Yayasan Islamic Village saat mengisi hutbah Sholat Jum’at,  11 januari 2012  di Masjid Al-Istighna Islamic Village Karawaci Tangerang Propinsi Banten.  By RAA.

Bagikan konten ini: